you were more than just a short time

Amel’s
Kalau boleh jujur beberapa bulan yang gue habiskan sama Jaki itu semuanya berkesan. It was meaningful. He is such a good person. Tapi mungkin saat itu waktunya nggak tepat atau memang kita berdua bukan untuk satu sama lain.
Dia terlalu baik.
Klise? Terserah kalian mau ngomong kayak gimana. Tapi gue nggak akan bisa menyakiti perasaannya lebih jauh lagi. I think it was the best decision for both of us – for me to cut things off before it got worse.
Akan lebih parah kalau gue bersikap biasa aja, pergi, dan nggak ngasih kejelasan apapun. Belum lagi waktu itu dengan bodohnya gue melakukan hal yang nggak seharusnya gue lakukan.
I kissed him.
I fucked up.
Tapi untungnya dia nggak mempermasalahkan hal itu walaupun keadaannya justru semakin membuat suasana kita berdua semakin canggung.
That was in the past, karena sebenarnya hidup gue terlalu lucu untuk dijalanin. Long story short, setahun setelahnya gue malah pacaran sama temennya Jaki yang bahkan gue sendiri nggak percaya kenapa bisa akhirnya gue sama dia.
Irsyadi Harits Maheswara.
Sebelum kenal sama Jaki, gue emang udah lebih dulu kenal sama Harits. Tapi ya sekedar karena kita sering ada kepanitiaan bareng aja. Lagipula Harits itu dari dulu tengil dan nggak ada habisnya bikin gue sakit kepala, jadi mana pernah kebayang akhirnya sekarang gue malah jadi pacar dia.
But again, surprisingly, gue sama Harits bertahan udah dua tahun. Padahal dulu waktu awal-awal pacaran sama dia, gue nggak pernah mau ketauan sama banyak orang. Maklum, gue ini lebih banyak hidup dengerin apa kata orang dibandingkan diri sendiri meskipun ya sekarang sedikit mulai ada sih perubahannya.
Tapi ya tetep aja mengingat tembok FH itu setipis tisu, gue selalu bilang ke Harits kalau gue nggak enak sama omongan anak yang lain, terutama sama Jaki.
Harits sempet nggak terima awalnya, cuman pada akhirnya dia menghargai keputusan gue.
“Emang apa salahnya sih Mel? Kamu nggak selingkuh juga kenapa harus amat dengerin omongan orang lain?” Kurang lebih gitu dia bilang.
Sampe suatu ketika gue sama Harits janjian di tempat yang lumayan agak jauh dari FH tapi masih di dalam lingkungan kampus dan secara nggak sengaja ketemu sama Jaki.
Bahkan kalau disuruh mengulang momen itu lagi, gue beneran nggak mau sama sekali. Suasanya luar biasa canggung. Gue bahkan lebih sering menatap ke bawah dibandingkan ngeliat Jaki.
Soalnya sejak saat itu hari dimana gue memutuskan untuk menolak perasaannya, gue sama Jaki udah jarang banget ketemu di kampus. Ya mengingat dia kelasnya IUP dan gue reguler, terus belum lagi dia satu tingkat di bawah gue, jadi jadwalnya banyak yang beda juga.
Dan ketika gue papasan sama dia lagi, posisinya gue sama Harits lagi mau balik bareng.
“Eh, Ris,” sapanya dengan senyum khas manisnya itu. “Mau balik?”
Harits mengangguk santai sedangkan gue udah kebingungan nggak karuan. Astaga, Amel, kenapa juga lo harus secanggung ini sih sekarang. Gue nggak berhenti mengumpat dalam hati pada saat itu.
Tatapannya Jaki kemudian beralih menatap tangan gue yang nggak lepas dari lengannya Harits. Bodohnya waktu itu gue spontan langsung melepas pegangan tangan seolah-olah keciduk selingkuh, padahal Harits udah resmi jadi cowok gue.
“Sama Amel?” tanya dia sambil mengalihkan pandangannya sesekali ke arah gue.
Sikapnya yang biasa aja itu semakin membuat gue merasa bersalah. Padahal mungkin bisa aja gue sendiri yang terlalu berlebihan.
“Iya, Jak.” jawab Harits seadanya. “Lo baru sampe? Apa mau balik juga?”
“Baru sampe, Ris, lagi nungguin Epan sekalian mau makan katanya dia.”
“Oalah, yaudah Jak, duluan ya gua ini mau nganterin Amel balik. Kelaperan doi katanya.”
Jaki ketawa mendengar ucapannya Harits yang mana malah bikin gue semakin canggung dan mau kabur aja bawaannya. Karena disitu posisinya Jaki sama sekali belum tau kalau gue sama Harits udah pacaran.
“Drive safe, Ris.”
Gue beneran makin mau puter balik aja rasanya biar tadi tuh nggak ketemu sama Jaki, bahkan sekarang anaknya melontarkan senyuman ke gue dan ngomong. “Hati-hati juga Kak, kalo Harits nyetirnya nggak bener pukul aja itu helmnya haha.”
Monyeeeet.
Bukan Jaki yang monyet.
Tapi keadaannya yang monyet.
“Makasih, Jak.”
Dan gue kira cukup selesai disitu aja percakapan kita, tapi ternyata Jaki malah melanjutkan omongannya. “Btw, you two looks good together.”
Gue nggak tau lagi mau ngomong apa waktu itu selain cengo kayak orang tolol.
Mungkin dia cuman asbun atau mungkin juga dia udah lebih dulu tau?
“No need to worry, Kak. I just know it from the first look kok,” lanjutnya setelah melihat reaksi kaget gue yang nggak bisa ditutupin. “Be happy sama Harits ya, Kak. I know he is such a good one for you.”
Harits tadi lagi ngambil motornya makanya dia nggak bisa denger percakapan gue sama Jaki yang ini, tapi tetep aja gue jadi kepikiran terus selama di perjalanan pulang.
So he knows.
Dzaki’s
I never thought that love would be this complicated.
Tapi lagipula gue nggak ambil pusing masalah itu. Yang cukup harus gue pahami adalah Amel emang belum siap untuk gue and that’s it. Nggak harus semua hal bisa kita paksain juga kan di dunia ini? I learned that since I was child because my mom always told me that sometimes life doesn’t go the way you want and that’s fine.
Well, to be frank at first it feels so weird to see one of your best friends dating the girl that you loved first. Karena dari awal dia salah satunya yang paling tau gimana proses gue ngedeketin Amel sampe bisa pada akhirnya gue jujur tentang perasaan yang gue punya.
Tapi emang mau gimana lagi? Gue udah tau juga keputusan awal Amel. Kalau emang waktu yang tepatnya buat dia ketika sama Harits, gue nggak pernah mempermasalahkan hal itu. Lebih dari cukup untuk tau kalau Amel udah ketemu sama bahagianya since I know Harits is such a good friend of mine.
At that time, waktu untuk pertama kalinya gue melihat Harits sama Amel di depan gerbang FH, gue udah bisa menebak kalau mereka punya hubungan. Dari cara Amel natap temen gue, cara bicaranya, dan bahkan sekali melihat caranya memegang tangan Harits pun juga udah cukup menjelaskan.
“Sorry ya, Jak,” Harits tiba-tiba menghampiri gue sambil menghembuskan rokoknya ketika gue sedang mengambil waktu istirahat duduk di teras depan studio. Kebetulan Epan sama Reyhan masih mengulik lagu di dalam.
“For what?”
“Soal gue sama Amel.”
“Karena lo pacaran sama Amel? It’s all good, mate. Don’t be sorry. She loves you after all,” Gue tau Harits pasti bakalan bahas ini. “Lagian buat apa juga minta maaf sih, Ris? She’s happy everytime you’re around now. Deket sama gue juga cuman berapa bulan and it happened last year.”
“Iya, tetep nggak enak aja gua, Jak.”
“Chill, gue juga udah nggak mau musingin itu lagi. Lo nggak usah dipikirin amat apalagi omongan anak-anak FH.”
“Nah itu dia masalahnya, Jak. Amel yang kepikiran.”
Gue ngerti banget.
Mungkin terlalu sayang sama orang bikin gue hapal sama hampir semua tingkah laku dan sifatnya.
“Dia nggak akan kepikiran sama omongan-omongan lain selama lo di samping dia terus, Ris. She needs you.”
Harits meletakkan putung rokoknya di atas asbak.
“Thank you ya, Jak.”
“Haha, thank you buat apalagi Ris,” Gue mencoba mencairkan suasana. “So we’re clear now ya?”
Harits’s
Gue paham sama semua perasaan Amel yang dia alami waktu kita pertama kali jadian.
Banyak gossip-gossip nggak jelas yang menurut gue ngapain amat sih lo ngurusin hubungan orang sebegitunya, tapi ternyata kejadian kayak gitu ada aja di lingkungan kampus.
Bahkan Amel sampe pernah nangis di hadapan gue karena dia nggak sengaja dengar omongan orang yang dia cukup percaya tapi di belakang malah ngejelek-jelekin.
Waktu itu juga tanpa banyak bicara gue tarik Amel ke dalam pelukan gue. Berusaha menangkan tangisannya itu dengan sedikit bercandaan-bercandaan kecil yang gue selalu lontarkan.
“Nggak usah nangis sih itu orang juga kalo kamu marahin lebih takut mereka, Mel. Kamu kan kalo marah kayak singa.”
Dia reflek memukul pelan lengan gue sambil masih sesenggukan. “Kamu tuh niat nggak sih ngehibur akunya?!”
Amel selalu lucu kalo udah ngomel kayak gitu. Responnya yang bikin gue dari dulu selalu pingin terus-terusan ngusilin dia, tapi kalau anak itu udah kayak begini rasanya gue nggak tega juga.
“Serius, Mel. Jangan didengerin omongan orang kayak gitu. Aku sayang sama kamu dan kamu sayang sama aku tuh yaudah. Cukup. Nggak perlu lagi mikirin yang lain-lain. Kamu sama Jaki juga nggak sampe pacaran kok ngapain harus mereka yang ribet,” jelas gue. “Lagipula itu kan dulu, sekarang yang penting udah ada aku, ya?”
“Mereka cuman sirik, Mel, nggak bisa tuh dia punya cowok seganteng aku.”
“Apa siiiih anjir kamu mah!”
Gue selalu ketawa tiap ngeliat segala tingkahnya Amel. “Udah ya jangan nangis lagi, nanti cantiknya ilang.”
Mukanya langsung berubah lagi jadi cemberut. Yaelah ini cewek minta banget gue cium apa ya.
“Nggak deeeng, tetep cantik kok. Tapi makin cantik kalo nangisnya udahan aja yaaa. Nanti aku beliin balon, mau nggak balon?”
“Anjing emangnya aku anak kecil apa.”
“Hahaha.”