i’m so glad you made time to see me

firesignsclub
4 min readJul 8, 2023

--

I recommend you to listen to Back To December by Taylor Swift while reading this one

How’s life, Yan?” Itu yang gue sampaikan setelah udah hampir dua tahun kita nggak saling bertukar kabar.

Dia jauh lebih dewasa dari terakhir kita ketemu. Ean yang gue kenal dari kecil emang selalu punya pemikiran jauh lebih dewasa dibandingkan gue yang terpaut lebih tua satu tahun, tapi buat mendeskripsikan Ean yang sekarang, dia udah bukan lagi Ean yang selalu jahil sama gue atau mungkin masih? Entahlah, gue nggak tau karena sekarang rasanya kita terlalu asing untuk sekedar bicara santai kayak dulu.

Hidup selalu punya banyak kejutan buat gue. Mulai dari mimpi-mimpi gue yang satu per satu akhirnya bisa gue raih — salah satunya berangkat ke Amsterdam untuk melanjutkan studi S2 dengan beasiswa yang gue idam-idamkan dulu. Ean selalu ada di setiap susunan rencana yang gue punya, dia nggak pernah terhapus dari list itu, dia pun tau segala detail mimpi-mimpi gila apa aja yang gue punya dan dengan caranya sendiri selalu mendukung mimpi-mimpi gila gue itu. Seharusnya gue bersyukur. Seharusnya gue bertahan sama hubungan bertahun-tahun ini. Seharusnya, seharusnya, dan seharusnya.

Tapi sayangnya enggak. Sekarang beda.

“Gimana kabar papi sama mami lo? Sehat kan?” lanjut gue.

I am good, Mami sama Papi juga sehat-sehat di Indo. Waktu itu gue sempet pindah lima bulan ke Canada, Jan, pas disana hp gue rusak terus kontak gue tiba-tiba ilang semua haha. Badtrip banget,” Ternyata masih ada yang nggak berubah dari caranya dia bicara dan senyumnya yang dia lontarkan ke gue — I swear he has the sweetest smile that I could never forget. “Habis itu kita pindah lagi ke Indo, terus udah deh gue sibuk kerjaan aja sih sekarang.”

“Di Depok masih sepanas itu tuh?” tanya gue.

Dia ketawa. “Hahaha ya masih lah, makanya nih gue apply S2 disini. Here I am akhirnya keterima.”

Here you are finally but nothing stays the same again.

It’s been awhile ternyata ya, Jan.”

Oh please don’t bring that topic again. Gue masih inget gimana tragisnya kita putus haha, lebay sih, tapi jujur gue nggak pernah nyangka kalo kita bakalan pisah. Nggak tau kenapa gue merasa nggak bisa ngelanjutin hubungan sama Ean lagi, I just think he deserves someone better. Mungkin bukan gue orangnya. Mungkin gue cuman pantas bersanding sebagai sahabat baiknya. Long distance is not my thing, tapi bukan itu aja masalahnya dan gue tau Ean bakalan selalu punya cara buat mempertahankan hubungan kita yang udah mau jalan 5 tahun. Dia nggak pernah salah, gue yang salah disini. Gue kira dengan sama Ean, gue bisa sepenuhnya ngerasain dukungan tanpa mikir beban — tapi ternyata gue masih banyak takutnya.

Iya, gue masih banyak takutnya buat terus-terusan sama dia. Yang ada di pikiran gue cuman mungkin mimpi-mimpi gila gue ini pada akhirnya cuman hanya akan ngebebanin dia. Seharusnya dia juga bisa mengejar mimpinya meskipun dia nggak pernah sekalipun merasa keberatan udah direpotin terus sama gue ini dan itu.

Desember waktu itu gue pamit untuk berangkat ke Amsterdam lagi. Alih-alih merayakan tahun baru bersama dia, gue memilih buat menghabiskan waktu liburan disana. Tapi Ean nggak pernah menuntut gue, dia berusaha buat ngertiin semua keputusan yang gue ambil. Dia dengan senyum manisnya yang penuh bangga itu bahkan ngasih bunga ke gue sebelum keberangkatan, tapi dia nggak pernah tau, dia nggak pernah tau kalo gue tinggalin bunga itu sampai dia layu di bandara. It was fucked up. I was so selfish that day. He gave me all his love and all I could gave to him was only goodbye.

Gue mutusin Ean melalui telepon setibanya gue di Amsterdam. Pikiran gue kacau banget. Dia nggak terima waktu pertama kali gue ngomong gitu, bahkan dia minta gue buat ngomongin hal-hal yang masih kurang di diri dia sekaligus gue biar kita bisa sama-sama memperbaiki itu semua. Cuman bukan itu aja masalahnya. Banyak hal-hal di kepala gue yang bahkan buat dielaborate ke dalam kalimat aja nggak bisa. Kita—lebih tepatnya Ean yang paling banyak mencari solusi demi solusi, tapi bagi gue itu semua percuma dan sampai akhirnya dia menerima. Menerima keputusan gue buat berpisah.

Udah nggak ada yang bisa dibenerin lagi ya, Jan?” Itu katanya waktu itu. “Gue selama ini kemana aja sih sampe nggak sadar kalo lo struggling sendirian. I am sorry.

Dan sejujurnya kalimat minta maafnya yang dia ucapkan lebih dulu dibanding gue kala itu yang berhasil bikin tangisan gue semakin pecah. Anjani dulu terlalu pengecut buat bilang maaf, padahal gue yang salah. Kalo kalian mau salahin gue, gapapa, gue paham.

Lo nggak salah, Yan. Gue yang salah. Thank you ya, Yan, semoga lo bisa jauh lebih bahagia.

Bisa ya lo bilang kayak gitu haha.” Dan sambungan telepon kami terputus setelah dia ngomong itu. That was our last conversation before we bump to each other again in our campus for the first time after awhile. The campus we once dreamed of together.

Kalo ditanya apakah gue masih sayang sama dia sampe detik ini, jawabannya pun tetap sama. Masih. Gue masih sesayang itu sama dia. It turns out freedom ain’t nothin’ but missing him. Bahkan gue mau balik lagi ke bulan Desember waktu itu cuman buat mengulang dan membenahi semuanya, tapi sayangnya udah nggak bisa. Nggak akan pernah bisa lagi.

Makanya, sekarang mungkin waktu yang tepat buat minta maaf tentang semuanya. Tentang waktu dan usahanya buat mempertahankan hubungan kita berdua. Tentang dukungannya dia buat semua mimpi gila yang gue punya. Tentang perasaan gue yang sebenernya masih ada tapi nggak akan pernah bisa buat diupayakan lagi.

“Iya, Yan, it’s been awhile,” jawab gue masih menatap manik matanya yang terhalangi kacamata. “I’m sorry for that night.

Disinilah gue menelan semua harga diri yang gue punya buat meminta maaf. Tapi lagipula emang gue yang salah. Bahkan hingga detik ini jam tidur gue masih sering ikut hancur.

“Sepi banget Jan nggak ada lo apalagi makin berasa waktu gue ulang tahun haha,” Masih bisa-bisanya dia menyelipkan candaan di setiap kalimatnya. “But I do respect your decision.

Thank you ya, Yan.”

--

--

No responses yet